Jumat, 19 April 2013

Hukum Keluar Dari Partai Dakwah



PERTANYAAN:

Assalamu'alaikum Ustadz. Semoga antum dalam lindungan Alloh SWT.
Perkenalkan, saya kader dari Tangerang yang ingin mencoba istiqomah dalam jama'ah dakwah ini.
Tetapi setelah lebih dari sepuluh tahun, ada banyak hal yang cukup mengganggu keikhlasan  dalam berkontribusi  pada dakwah ini.

1. Fenomena kronisme dalam struktur/tanzim hizbiyah,
2.  Banyak kacang yang lupa pada kulitnya.
Dua dari sekian banyak hal inilah yang menggiring emosional saya  menerima tawaran dari partai lain untuk bergabung. Bagaimana menurut Antum, Ustadz ? Jazakumulloh khoiron katsiron.
 
Achmad Bay

 

JAWABAN:

 

Wa'alaikumussalam Wr.Wb.

Adalah suatu kebaikan, jika setiap kader sebelum memutuskan suatu perkara yang strategis untuk ditanyakan atau dikonsultasikan kepada struktur di atasnya seperti yang ditanyakan penanya ini. Dan lebih baik lagi ketika kader menanyakannya kepada murobbi/Pembinanya langsung. Sebab, Pembina atau murobbi mempunyai tiga fungsi sekaligus:

  1. Sebagai Syaikh, yang memberi bekalan ruhiyah kepada binaannya, menghidupkan hatinya serta dapat menyejukkan pikirannya.
  2. Sebagai Guru, yang memberi bekal ilmu dan pengetahuan. Baik ilmu agama maupun ilmu umum, mentransfer pengetahuannya kepada binaaanya agar binaannya mempunyai bekal dalam hidup dan kehidupannya
  3. Sebagai orang tua, yang mendengar, merasa dan berupaya menyelesaikan masalah yang dihadapi binaannya seperti halnya menghadapi anaknya sendiri. Memperhatikan hal yang sepele dari binaannya seperti rumahnya, anak-anaknya, maisyahnya dan lain sebagainya, dan menasehati sera mencarikan solusi bagi masalah yang dihadapi binaannya.

Bila ketiga fungsi itu belum dirasakan manfaatnya, mungkin ada yang “salah” pada pembinanya. Maklum, Pembina atau murobbi juga adalah manusia yang tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan.. Atau bisa jadi karena kita sendiri yang masih terus harus belajar.

Sifat salah dan kurang juga bukan hanya dimiliki oleh orang-perorang, namun kadang juga dimiliki oleh kumpulan orang. Bagaimana pun juga kumpulan orang yang banyak, tetap mereka adalah kumpulan manusia dan bukan kumpulan malaikat. Hanya saja perbedaannya, jika kesalahan itu dilakukan oleh seorang, maka dia akan menaggung akibatnya sendirian. Namun jika kesalahan itu dilakukan oleh kumpulan orang, maka mereka ikut saling menanggungnya dan dalam penyelesainnya pun akan dilakukan secara gotong royong (‘amal jama’i).

Sebagai contoh, saat syuro menghadapi perang Uhud, sebenarnya Nabi saw dan sahabat senior berpendapat ingin bertahan di kota Madinah, namun karena kaum Muda dari kalangan sahabat begitu semangat ingin menghadapi musuh di luar kota Madinah dan jumlah mereka lebih banyak dibanding sahabat senior, akhirnya syuro yang dipimpin Nabi saw memutuskan untuk keluar Madinah. Meski pada babak pertama kaum muslimin mendapat kemenangan, namun di akhir peperangan kaum muslimin mengalami kekalahan, dan banyak kaum muslimn yang tewas menjadi syuhada termasuk paman Nabi saw yang sangat dicintainya bernama Hamzah bin Abdul Muthollib. Namun, apapun hasilnya, itulah kesepakatan yang diambil bersama melalui syuro, dan kaum muslimin pun tidak saling menyalahkan di antara mereka.

Saudaraku yang saya cintai karena Allah. Sejak partai ini didirikan, kita telah memproklamirkan bahwa kita adalah partai dakwah, sedangkan politik adalah salah satu bagian terkecil saja dari medan dakwah yang luas. Jika kita berorientasi ingin berpartai saja dan ingin berpolitik saja serta meninggalkan sisi dakwahnya, maka partai ini bukanlah tempatnya. Pada suatu acara olahraga saya sering mengatakan pada kader, “Jika kader PKS tidak mau mengikuti mukhoyyam yang merupakan agenda dakwah, silakan cari partai yang tidak ada mukhoyyamnya”.

Pada dasarnya, dakwah ini tidak membutuhkan kita, tapi kitalah yang membutuhkan dakwah ini. Bersama atau tidak bersama kita pun, dakwah ini akan tetap melaju, kafilah dakwah akan terus berjalan. Sebab dakwah ini bukan milik seorang atau beberapa orang, tapi milik Allah SWT. Masih segar dalam ingatan kita saat kita belum bergabung dengan dakwah ini. Saat itu kita belum mengenal al-Islam secara kaffah, kita belum banyak memiliki hafalan ayat al-Qur’an, belum mengerti arti dan orientasi hidup. Namun setelah kita bergabung dalam kafilah dakwah ini, betapa kita mulai mencintai al-Qur’an, mengenal Allah, mengenal cara menghadapi kehidupan ini.

Bila dapat dikatakan bahwa kafilah dakwah ini adalah sebuah jamaah, dan memang sebuah jamaah minal muslimin, maka sebenarnya banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan kepada agar kita selalu hidup dalam jamaah:

Dalil ayat-ayat al-Qur’an:

 

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS. Ali Imran: 103)

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”.(QS. Al-An’am: 159)

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمْ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (QS. Ali Imran: 105)

 

Dalil hadits-hadits Nabi saw:

واباكم والفرقة, وعليكم بالجماعة, فان الشيطان مع الواحد, وهو من الاثنبن أبعد

 

“Jauhilah olehmu perpecahan, dan hendaklah bersama jamaah, karena syaitan itu bersama orang yang sendirian, dan dia menjauh dari orang berdua” (HR: Tirmidzi)

 

من فارق الجماعة قيد شبر فقد خلع ريقة الاسلام من عنقه

“Barangsiapa memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka dia telah melepas ikatan islam dari lehernya” (HR: Bukhori)

Yang dimaksud “melepas ikatan Islam dari lehernya” adalah bahwa ia telah jauh dari Islam, seperti kuda yang ikatan lehernya terlepas sehingga menjauh dari kandangnya.

يد الله مع الجماعة

“Tangan Allah bersama jamaah” (HR: Bukhori)

 

وأنا امركم بخمس الله أمرني بهن:: بالجماعة, والسمع والطاعة, والهجرة. والجهاد في سبيل الله, فان من خرج من الجماعة شبرا واحد فقد خلع ريقة الاسلام من عنقه الى أن يرجع. قالوا : يا رسول الله , وان صلى وان صام؟ قال: وان صلى وان صام وزعم أنه مسلم.

“Aku perintahkan kalian dengan lima perkara yang diperintahkan Allah padaku: berjamaah, mendengar, taat, hijrah, dan jihad di jalan Allah. Maka barangsaiapa yang keluar dari jamaah sejengkal saja maka dia telah melepas ikatan islam dari lehernya hingga ia kembali. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, Meskipun dia mengerjakan sholat dan zakat”? Rasulullah menjawab, “Meskipun dia mengerjakan sholat dan zakat serta mengaku muslim”( HR: Muslim)

 

ان الشيطان ذئب الانسان, كذئب الغنم, يأخذ الغنم القاصية والناحية. واياكم والشعاب, وعليكم بالجماعة

"Sesungguhnya syaitan itu adalah srigalanya manusia, sebagaimana srigalanya kambing yang menerkam kambing yang terpisah dan sendirian. Jauhilah (menyendiri) di lembah dan hendaklah bersama jamaah” (HR: Ahmad)

من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه, فان من فارق الجماعة شبرا فمات الا مات ميتة جاهلية

"Barangsiapa melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dibencinya maka hendaklah ia bersabar, karena barangsiapa yang keluar dari jamaah sejengkal saja, lalu ia mati, maka ia mati dengan kematian jahiliyah” (HR: Bukhori)

ثلاثة لا تسأل عنهم: رجل فارق الجماعة, وعصى امامه ومات عاصيا, وأمة أو عبد أبق فمات, وامرأة غاب زوجها قد كفاها مؤنة الدنيا فتبرجت بعده فلا تسأل عنهم

“Tiga manusia janganlah engkau tegur (sapa) mereka; seseorang yang bercerai dari jamaah dan maksiat (melanggar) pada pemimpinnya serta mati dalam kemaksiatan, seorang hamba yang kabur lalu mati, dan wanita yang suaminya keluar sedang dia telah diberi kecukupan kebutuhan dunianya lalu bertabarruj setelah itu, maka janganlah tegur (sapa) mereka” (HR: Ahmad)

 

Kisah-kisah:

  1. Ada sebuah kisah yang berkaitan dengan hadits yang terakhir ini. Saat kaum muslimin mendapat perintah berjihad dalam perang Tabuk, seorang sahabat bernama Ka’ab bin Malik menunda-nunda keberangkatannya untuk berjihad, hingga akhirnya datang rasa malas dan tidak jadi berangkat berjihad. Saat perang usai dan kaum muslimin bersama Rasulullah saw kembali ke Madinah, Rasulullah saw tidak mau menegur Ka’ab bin Malik sebagai hukuman, beliau tidak menyapa dan tidak mau mengajak bicara Ka’ab bin Malik. Ternyata sikap Rasulullah saw itu diikuti oleh kaum muslimin, sehingga hidup Ka’ab terasa sendiri walau di tengah kaum muslimin, serasa hidup tidak berarti jika orang-orang tidak ada yang mau menyapanya. Namun ia sabar dan menerima hukuman yang diambil Rasulullah akibat tidak ikut serta dalam medan jihad. Di tengah keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendapat surat yang berisi tawaran dari raja Ghassan di Yaman untuk bergabung dengan mereka, bahkan mereka menawarkan posisi tertentu jika Ka’ab mau bergabung bersama mereka. Untung Ka’ab bin Malik masih punya iman. Saat ia membaca surat itu, ia berkata, “Musibah apa lagi yang ditimpakan padaku seperti ini?” ia tidak mengaggap tawaran itu sebagai kesempatan emas, tapi sebagai musibah baru. Lalu ia tetap sabar sampai Allah dan rasul-nya mengampuninya. Dan setelah berlalu limapuluh hari, barulah turun ayat yang menjelaskan pengampunan pada Ka’ab bin Malik, ia pun bersyukur.
  2. Ketika Khalid bin Walid memimpin suatu pasukan. Tiba-tiba ia kedatangan seorang utusan dari Madinah yang menyampaikan surat dari khalifah Umar bin Khattab. Dalam surat itu ada dua point penting yang disampaikan pada Khalid bin Walid yang telah menjadi panglima sukses dalam setiap peperangan yang dipimpinnya. Point pertama memberitakan bahwa Abu Bakar ra telah wafat dan sebagai penggantinya adalah Umar bin Khattab. Point kedua mengabarkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab memecat jabatan panglima Khalid bin Walid dan mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqas (anak buahnya) sebagai penggantinya. Saat peperangan berkecamuk, Khalid bin Walid tetap maju bersemangat melawan musuh, tidak sedikitpun terjadi penurunan semangat mesti baru saja dipecat jabatannya. Seorang sahabat bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau tetap bersemangat dan tidak menurun semangatmu meskipun baru saja engkau mendapat berita pemecatanmu?” Khalid bin Walid menjawab, “Aku berjuang dan bekerja bukan karena Amirul mu’minin tapi aku bekerja dan berjuang karena Tuhannya Amirul Mu’minin (Allah SWT)”

 

 

Kesimpulan dan Nasehat:

Dari penjelasan di atas, saya yakin saudaraku dapat menyimpulkan sendiri jawaban dari pertanyaan yang saudaraku ajukan, apalagi saudaraku telah mengikuti tarbiyah selama 10 tahun sebagaimana yang saudaraku ceritakan.

Kemudian izinkan saya memberi nasehat atau taushiyah. Nasehat ini juga saya sampaikan untuk diri saya sendiri serta para kader:

  1. Hendaklah meluruskan niat perjuangan kita hanya karena Allah. Kuatkanlah rasa maiyyatullah (kebersamaan dengan Allah)
  2. Taatilah qiyadah (pimpinan) dalam hal ma’ruf, dan jangan taati dalam hal kemungkaran. Kritisilah dalam suasana ukhuwah hal-hal yang tidak baik. Karena kita bukan jamaah malaikat yang tidak pernah berbuat salah.
  3. Kedudukan tertentu di struktur partai atau jamaah atau jabatan di manapun bukanlah jaminan kita menjadi terbaik di sisi Allah, bisa jadi malah menjadi bumerang timbulnya sikap takabbur dan ujub diri. Selalulah berbuat terbaik dan mempersembahkan terbaik di posisinya masing-masing. Allah hanya melihat keistiqomah dan keikhlasan kita beramal,. “Sebaik-baik amal adalah kontinyuitasnya, walau amal itu sedikit”
  4. Selalu-lah melakukan istisyar (minta pendapat) kepada sesama ikhwah, murobbi dan bahkan struktur di atasnya dalam mengambil suatu keputusan atau mencari tabayun dari suatu persoalan. Jangan cepat menyimpulkan hanya karena mendengar pendapat dari seseorang,
  5. Bangunlah sifat saling percaya (tsiqoh) dan husnudz dzhon sesama kaum muslimin, apalagi sesama teman seperjuangan.
  6. Bersyukurlah kepada Allah yang telah memberikan nikmat berukhuwah dan berjamaah, sehingga kita mendapat hal-hal positif  darinya.
  7. Kuatkanlah diri dengan memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah. Dia-lah tempat memohon dan berserah diri. Perbanyaklah amalan sunnah setelah yang wajib, karena Allah akan mencintai orang yang memperbanyak amal, sehingga pendengarannya adalah pendengaran Allah, penglihatannya adalah penglihatan Allah, tangan yang diulurkannya adalah “tangan’ Allah.

 

Demikinalah, semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam naungan hidayah dan rahmat-Nya. Amin

ان اريد الا الاصلاح ما استطعت وما توفيقي الا بالله

Wallahu a’lam bish-showab
Akhu-kum fillah : Muhammad Jamhuri

Senin, 08 April 2013

Sikap Kepada Pacar Setelah Menjadi Kader Dakwah



@ssalamualaikum wr, wb pak ustadz..
pak'..sekarang ini saya menjalani yang namanya pacaran...
yang ingin saya tanyakan :
apa yang saya harus lakukan terhadap "pacar" saya tersebut ketika tahu bhwa "pacaran dalam islam itu diLarang.!" {saat ini saya merupakan 'kader' pks pak dan sebelum saya menjadi 'kader' saya sudah menjalani pacaran tsb pk'.dan masalah ni belum saya konsultasikan dengan murrabi saya}
terima kasih atas waktu-nya pa' ustadz..
semoga jawaban dari pak' ustadz dapat memberikan solusi positif.
jzkllah.

 
Andi Iqbal

 

JAWABAN:

Walaikumussalam Wr. Wb

Bersyukurlah kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayahnya kepada kita, Dia telah memberikan petunjuk dengan mengenalkan kita kepada jalan dakwah, jalan yang pernah ditapaki dan dilalui oleh para Nabi dan orang-orang sholeh. Dia telah mengenalkan kita bergabung dengan kafilah dakwah yang mubarokah insya Allah, Yang telah memperkenalkan kita memahami hukum Islam dan mengerti masalah agama. Semua itu karena Allah menghendeki kebaikan kepada kita semua. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Barangsiapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan, maka Allah memahamkan padanya tentang agama” (HR: Bukhori-Muslim)

 

Dengan bergabungnya kita di kafilah dakwah sehingga memahami hukum-hukum agama, akhlak Islam dan ajarannya, maka insya Allah kita telah “dihantarkan” Allah kepada kebaikan.

 

Salah satu tanda syukur kita kepada Allah SWT adalah menjalankan petunjuk dan ajaran Allah SWT semampu yang bisa kita lakukan. Dengan begitu, maka kita akan mendapat limpahan nikmat lainnya yang saat ini belum Allah berikan. Sebaliknya, salahsatu tanda kufur nikmat adalah melanggar aturan dan ajaran Allah SWT. Firman Allah SWT:

 

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

 

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS.Ibrahim: 7)

 

Islam telah mengatur tata cara hubungan kita pada Allah, pada manusia dan semua makhluk. Termasuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, baik kepada sesama keluarga (mahram) maupun pada orang lain (bukan mahram).

 

Beberapa petunjuk Rasulullah saw tentang hubungan laki-laki dan wanita yang bukan mahram antara lain:

وعن عقبة بن عامرٍ رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إياكم والدخول على النساء ! فقال رجلٌ من الأنصار: أفرأيت الحمو ؟ قال: الحمو الموت ! متفقٌ عليه.

Dari Uqbah bin Amir ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jauhilah olehmu masuk kepada perempuan-perempuan!” maka seorang lelaki kaum Anshor bertanya, “Bagaimana jika dengan ipar suami?” Beliau menjawab, “Ipar suami adalah kematian(musibah)” (HR: Bukhori-Muslim)

وعن ابن عباسٍ رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يخلون أحدكم بامرأةٍ إلا مع ذي محرمٍ متفقٌ عليه.

Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang dari kamu berkholwat (berduaan) dengan wanita kecuali bersama mahramnya.” (HR: Bukhori-Muslim)

 

Dari hadits di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan hukum:

  1. Dilarang bagi seseorang untuk berduaan bersama ipar suami atau isterinya yang berlainan jenis, karena akan mendorong kepada perbuatan tercela. Bahkan Imam Nawawi menyatakan bahwa kemungkinan terjadi fitnah dan keburukan bersama ipar lebih besar dibanding besama wanita lain. Karena dia tidak dicurigai orang lain sehingga akan leluasa melakukan sesuatu yang tercela.
  2. Dilarang berduaan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya tanpa ada kebutuhan yang diperbolehkan, kecuali didampingi

 

Persoalannya adalah bagaimana sikap seseorang saat sebelum menjadi kader telah berpacaran (khalwat),sedangkan saat ini dia telah menjadi kader dan sadar? Sementara barangkali dia khawatir bila sang pacar menjadi kalut, kaget dan stress bila ditinggal atau “diputus” oleh Anda?Atau bisa jandi Anda juga khawatir kehilangan si dia?

 

Dari keterangan di atas, maka dapat diambil beberapa opsi sikap:

Pertama, Jika Anda khawatir akan kehilangan atau berpisah dengan pacar Anda maka:

  1. Yakinlah dengan firman Allah swt bahwa Allah akan menjodohkan laki-laki yang baik dngan perempuan yang baik pula. Juga sebaliknya. Firman Allah SWT:

 

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

 

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS.An-Nur: 26)

  1. Yakinlah bahwa bahwa pacaran tidak akan menjamin mengantarkan kita pada perjodohan, bahkan karena pacaranlah banyak orang stress, menyita waktu dan hilangnya kesempatan sukses. Bahkan banyak yang gugur sebelum berkembang.
  2. Yakinlah bahwa apabila kita berada pada jalan Allah, maka Allah pasti akan memudahkan jalan-jalannya, termasuk mendapat jodoh yang sesuai dengan kriteria kita. Firman Allah SWT:

 

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

 

“Dan orang-orang yang bersunguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)

 

Kedua, Adapun sikap Anda pada pacar Anda, maka jika Anda dan dia belum siap menikah saat ini, sampaikan hal-hal berikut ini dengan cara hikmah dan bijaksana:

  1. Jelaskan pada pacar, bahwa hukum pacaran -sebagaimana yang dipahami orang Indonesia sebagai kenal dan berdua-duan- adalah haram sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, dan bahwa pacaran lebih banyak dampak netagifnya dari pada positifnya
  2. Yakinkan bahwa pacaran tidak menjamin akan berlanjut ke pernikahan (jodoh).
  3. Menjelaskan padanya, bahwa Anda takut kepada Allah. Sampaikan, bahwa jika “kita” mau lanjut ke pernikahan, hendaknya saling bersabar dengan tidak pacaran, hingga Allah menjodohkan Anda dan dia jika Allah menghendaki. Namun selama belum akad, Anda jangan berhubungan lewat apapun dengan dia agar tidak ada peluang syetan untuk menggoda. Tapi Anda boleh berhubungan dengan saudara-saudaranya yang lelaki atau ayahnya.
  4. Sampaikan dakwah Anda kepada dia, ajak dia untuk mengikuti halaqah yang diadakan akhwat-akhwat kader, konsultasikan hal ini kepada murobbi Anda
  5. Tetap jadikan hubungan baik Anda dengan dia dan keluarganya sebagai asset dakwah, bagian orang yang perlu mendapat sentuhan dakwah. Karena itu lakukan hal-hal di atas dengan cara hikmah dan bijaksana.

 

Ketiga, Jika saat ini Anda dan dia sudah siap ke jenjang pernikahan, maka Anda boleh melamarnya, namun sampaikan visi misi Anda dalam pernikahan padanya, apalagi Anda telah menjadi kader dakwah, serta tanyakan kesiapan sang “pacar” untuk mengikuti langkah Anda dalam menggapai ridlo Allah SWT di jalan dakwah. Jika dia tidak siap, maka Anda dapat memilih jodoh lain yang siap menjadi wanita sholehah, terutama dari kalangan kader dakwah.

 

Wallahu a’lam bish showab

http://muhammad jamhuri.blogspot.com

 

Senin, 10 Desember 2012

Hukum Memilih Diri Sendiri Dalam Pemilihan dan Pemilu

PERTANYAAN:

Assalamu'alaikum
Saya ingin menanyakan bagaimana hukumnya seseorang memilih dirinya sendiri dalam pemilihan raya internal untuk memilih misal ketua DPC, menjadi caleg atau menjadi calon Bupati? Apa ini memang dibolehkan dengan mungkin mengacu pada kisah Nabi Yusuf? Sementara ada juga kisah bagaimana sahabat saling mendahulukan saudaranya untuk meminum air duluan ketika mereka sama-sama sedang terluka parah.

ketika ternyata orang yg memilih dirinya sendiri tersebut ditetapkan kemudian menjadi ketua DPC/DPD, caleg ataupun calon Bupati internal, sikap apa yg paling bijak bagi orang yg tahu prilaku orang yg milih dirinya sendiri tersebut?

Syukron.

wassalamu'alaikum

Ayah Fathimah < tediyuwono@gmail.com>

 

JAWABAN:

Memang benar dalam al-Quran disebutkan, bahwa Nabi Yusuf as menawarkan diri menjabat sebagai bendaharawan Negara, sebagaimana firman Allah SWT:
 

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِين  قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَشَاءُ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

 

Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku." Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami."

Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."

Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.

Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.  (QS: Yusuf: 54-57)

 

Dari ayat ini, dapat kita simpulkan beberapa hal:

  1. Raja telah melakukan percakapan (penjajagan), atau fit and profer test kepada Nabi Yusuf, dan Nabi Yusuf memenuhi persyaratan dan kecakapan. Raja berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami."
  2. Setelah mendapat kepercayaan, Yusuf as memahami diri bahwa keahliannya di bidang kebendaharaan, karena itu dia memohon diberi tanggung jawab tersebut.
  3. Kalimat “Hafizhun ‘Alim” (yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan ) pada ayat di atas dengan menggunakan bentuk sifat musyabbihah  dan bentuk jumlah khobariyah, menunjukkan bahwa sifat itu sudah melekat pada Nabi Yusuf as
  4. Kata “Hafizh” berarti terkandung makna amanah, jujur dan care. Sedang kata “Alim” terkandung makna memiliki pengetahuan lebih, skill dan keahliaan selain sifat taqwa
  5. Nabi Yusuf as –sebagaimana penjelasan Allah- adalah termasuk orang-orang baik
  6. Tujuan mendapat jabatan semata-mata untuk mendapat pahala akhirat, bukan sekedar kesenangan dunia, apalagi sebagai prestise. Ini terlihat dari ayat 57 “Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa”
Dengan demikian, jika seseorang merasa seperti Nabi Yusuf as, yakni memenuhi syarat ketaqwaan, kesalehan, jujur, amanah, care (melindungi), memiliki pengetahuan di bidangnya, skill dan keahliaan, serta hanya berorientasi kepada pahala akhirat (bukan duniawi), dan di tengah-tengah komunitas tersebut hampir tidak ditemukan lagi orang yang lebih baik darinya, maka dia boleh mengajukan diri menerima jabatan demi kemaslahatan umat.

 
Namun jika diri kita tidak memenuhi syarat di atas, atau masih banyak yang setara dengan kita, atau bahkan masih banyak yang lebih baik dari kita, maka kita tidak boleh meminta-minta jabatan. Namun demikian, kita boleh menerima jabatan tatkala komunitas atau masyarakat memilih kita, atau menuntut kita menerima jabatan tersebut.

 
Beberapa hadist Nabi saw yang melarang kita meminta-minta jabatan antara lain sebagai berikut:

 

عن أبي ذر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا أبا ذر, انى أراك ضعيفا, واني احب لنفسي, لا تأمرن على اثنين ولا تولين مال اليتيم (رواه مسلم)

 

Abu Dzar ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hai Abu Dzar, menurutku kamu itu lemah dan aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri. Janganlah kamu menjadi pemimpin terhadap dua orang dan jangan pula menjadi wali (mengelola) bagi harta anak yatim.” (HR: Muslim)

 
وعنه  قال: قلت: يا رسول الله , الا تستعملني؟ فضرب بيده على منكبي, ثم قال:  : يا أبا ذر, انك ضعيف وانها أمانة, وانها يوم القيامة خزي وندامة, الا من أخذها بحقها, وأدى الذي عليه فيها (رواه مسلم)

 
Dari abu Dzar ra berkata: “Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak menjadikan aku sebagai pegawai?” Kemudian beliau menepuk pundakku dan bersabda, “Hai Abu Dzar, sungguh, kamu ini lemah dan jabatan itu amanah. Pada hari Kiamat nanti, jabatan itu menjadi kehinaan serta penyesalan, kecuali bagi orang-orang yang melaksanakannya secara benar dan menunaikan semua kewajibannya” (HR: Muslim)

 

عن أبي سعيد عبد الرحمن بن سمرة رضي الله عنه قال: قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم:  يا عبد الرحمن بن سمرة لا تسأل الامارة, فانك ان أعطيتها عن غير مسألة أعنت عليها, وان أعطيتها عن مسألة وكلت اليها, واذا حلفت على يمين فرأ يت  غيرها خيرا منها  فأ ت  الذي هو خير وكفر عن يمينك (متفق عليها)

 
Dari Abu Said, Abdurrahman bin Samurah ra berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hai Abdurrahman bin Samuroh, janganlah kamu meminta jabatan. Sebab, jika kamu diberi kekuasaan tanpa memintanya, kamu akan ditolong untuk melaksanakannya. Tetapi, jika kamu diberi kekuasaan setelah memintanya, kekuasaan itu diserahkan sepenuhnya kepadamu. Jika kamu bersumpah untuk sesuatu lalu kamu mengetahui yang lebih baik darinya, kerjakan yang lebih baik dan tebuslah sumpahmu” (HR: Bukhori Muslim)

 
Dari hadits-hadits di atas dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Larangan untuk memegang jabatan bagi orang yang mengetahui bahwa dirinya memiliki kelemahan dalam memikul bebannya (hadits no. 1)
  2. Boleh menerima jabatan dengan hak-nya (cara benar الا من أخذها بحقها ) dan melaksanakan tugas dengan benar (hadits no. 2)
  3. Larangan meminta jabatan, tetapi boleh menerimanya tanpa memintanya. Apabila tidak ada orang yang pantas, ia wajib memintanya dan akan mendapat pertolongan (hadits no. 3)

Lalu, terkait dengan pertanyaan:

ketika ternyata orang yg memilih dirinya sendiri tersebut ditetapkan kemudian menjadi ketua DPC/DPD, caleg ataupun calon Bupati internal, sikap apa yg paling bijak bagi orang yg tahu prilaku orang yg milih dirinya sendiri tersebut?

 
Kita harus melihat orang tersebut dengan timbangan ayat dan hadits di atas, jika ia tidak sesuai dengan kriteria tersebut, dan dia baru menjadi calon atau bakal calon, maka sebaiknya dia tidak usah kita pilih dalam pemilihan Internal. Namun jika ia sesuai dengan kriteria di atas (menurut ayat dan hadits) maka kita harus mendukungnya. Karena pilihan kita adalah sama dengan kesaksian.  Firman Allah SWT:

وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

 
“Dan janganlah kamu menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-baqarah: 283)

 

Namun jika sudah menjadi calon tetap Bupati dari internal aktifis dakwah dan dibanding dengan calon Bupati ekternal, maka kita harus mendukung calon tetap internal, karena calon tetap internal insya Allah masih lebih baik secara moral dan akhlak Islami dari pada calon ekternal. Bahkan jika tidak ada calon dari internal pun kita harus mendukung salah satu dari calon ekternal yang lebih baik atau sedikit kemudhorotannya dibanding calon ekternal lainnya, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:

 

اذا تعارضت مفسدتان رعي أعظمهما ضررا بارتكابهما أخفهما

 

“Jika dihadapkan kepada dua hal yang sama-sama rusak, maka lihatlah mana yang lebih besar kerusakannya, lalu pilihlah yang lebih kecil kerusakannya”.

 

Sedangkan jika orang tersebut sudah terlanjur terpilih menjabat sebagai ketua DPC/DPD atau bahkan bupati, maka kita harus mendukungnya dalam hal kebaikan dan mengkritisinya dalam hal kemaksiatan, bahkan tidak boleh taat dalam hal kemaksiatan kepada Allah.

 

Wallahu a’lam

 

Muhammad Jamhuri

 

 

 

Minggu, 09 September 2012

Hukum Salam Berpelukan dan Bercium Pipi


Assalaamu'alaikum wr.wb.
Ustadz, beberapa waktu lalu ana sempat terlibat dialog mengenai adab ketika bertemu saudara Muslim lainnya.

Seringkali antar sesama ikhwah setiap kali bertemu "mentradisikan" saling menempelkan pipi kanan-kiri. Padahal ada yang berpendapat berdasarkan sebuah hadits bahwa yang dicontohkan Rasulullah hanya berjabat tangan atau BERPELUKAN, tidak tersurat adanya contoh menempelkan pipi tersebut.
Ada juga yang berpendapat jika frekuensi pertemuannya sudah teramat sering maka yang diperlukan hanya jabat tangan saja. Ini berdasarkan shiroh ketika para sahabat yang baru pulang setelah lama berjihad disambut oleh saudaranya yang lain dengan berpelukan sementara yang setiap hari bertemu hanya berjabat tangan saja.
Mohon penjelasan detailnya, Ustadz. Berdasarkan teks dan penjelasan hadits yang ada. Karena, meski hal ini kecil namun demi pemahaman yang menyeluruh atas sunnah Rasul ana harap bisa menghindarkan kita semua dari perkara-perkara khilafiyah yang terkadang menjadi syubhat bagi kita.
Jazakallaahu khoiron jaza...
 
Wassalam.
 
JAWABAN:

 Wassalamau’alaikum wr wb

Terkait dengan hukum berjabat tangan,  salam berpelukan dan salam menempel pipi, ada beberapa hadits yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain:

 

عن البراء رضي الله عنه قال: قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم : ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الا غفر لهما  قبل أن يتفرقا (رواه ابو داود)

Dari Bara’ ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila ada dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan, maka kedua mendapat ampunan (dari Allah) sebelum mereka berpisah” (HR: Abu Daud)

 

عن أنس رضي الله عنه فال: قال رجل : يا رسو ل الله, الرجل منا يلقى أخاه أو صديقه. أ ينحني له؟ قال: "لا" قال: أفيلتزمه ويقبله؟ قال: "لا" قال: فيأخذه بيده ويصافحه؟ قال: "نعم " (رواه الترميذي- وقال حديث حسن)

Dari Anas ra berkata ada orang bertanya, “Ya Rasulullah, apabila seorang di antara kami bertemu saudara atau temannya, apakah ia menundukkan (inhina) badannya? “ Beliau menjawab, “Tidak”. Ia bertanya lagi, “Apakah ia memeluk dan menciumnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Apakah ia memegang tangan saudaranya dan menjabatnya?” Beliau menjawab, “Ya” (HR: Tirmidzi & berkata: ini hadits hasan)

 

عن صفوان بن عسال رضي الله عنه قال: قال يهودي لصاحبه: اذهب بنا الى هذا النبي, فأتيا رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألاه عن تسع آيات بينات, فذكرالحديث الى قوله, فقبلا يده ورجله, وقالا: نشهد أنك نبي (رواه الترميذي وغيره بأساند صحيحة)

Dari Shafwan bin ‘Assal ra berkata  bahawa seorang Yahudi berkata kepada temannya, “Mari kita menemui Nabi ini”. Mereka berdua  menemui Nabi saw dan bertanya kapada beliau tenang sembilan ayat bayyinat (jelas). Setelah dijelaskan oleh beliau, mereka mencium tangan dan kaki Nabi saw dan berkata, “Kami bersaksi bahwa seseunguhnya engkau adalah Nabi” (HR: Tirmidzi dan  lainnya dengan sanad-sanad yang shahih)

 

عن عائشة رضي الله عنها قالت: قدم زيد بن حارثة ورسول الله صلى الله عليه وسلم في بيتي, فأتاه فقرع الباب, فقام اليه النبي صلى الله عليه وسلم يجر ثوبه, فأعتنقه وقبـله (رواه الترميذي – وقال حديث حسن)

Dari Asiyah ra berkata, “Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat itu Rasulullah saw berada di rumahku. Lalu ia mengetuk pintu. Kemudian Rasulullah saw menarik bajunya dan memeluk serta mencium Zaid” (HR: Tirmidzi dan berkata: ini hadits hasan))

 

Dari hadits-hadits tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa hal:

  1. Berjabat tangan setiap bertemu dengan orang sangat dianjurkan karena itu dapat menghapus dosa-dosa kecil serta dapat melahirkan cinta dan kasih sayang
  2. Menundukkan badan ketika bertemu orang lain (inhina/mungkin seperti orang Jepang) adalah perbuatan dilarang
  3. Diperbolehkan mencium tangan atau kaki orang yang bertaqwa dan soleh, karena Rasulullah saw pernah dilakukan seperti itu dan beliau tidak menolaknya.
  4. diperbolehkan memeluk dan mencium/menempel pipi orang yang datang dari bepergian sesuai dengan hadits no.4
  5. Dimakruhkan memeluk dan mencium/menempel pipi seseorang yang bukan datang dari bepergian sebagaimana yang tercantum pada hadits ke 2 (karena biasa bertemu)

 

Timbul pertanyaan: Bagaimana hukum berpeluk dan bercium/menempel pipi saat bertemu temannya yang sudah lama tidak bertemu namun bukan karena datang dari bepergian/perjalanan?

 Perlu diketahui, bahwa pada masa Rasulullah saw dan para sahabat hidup, hampir setiap hari mereka saling bertemu. Bahkan dalam setiap waktu sholat mereka saling bertemu. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh sahabat yang tinggal di Madinah sholat berjamaah lima waktu di satu masjid, yakni Masjid Nabawi yang diimami oleh Rasulullah saw, sehingga wajar jika Rasulullah saw cukup memberi salam dan berjabat tangan saja bila bertemu dengan mereka dan tidak memeluk dan mencium/menempel pipinya.

Sedangkan di masa kita sekarang, hampir di tiap kecamatan, bahkan keluarahan, terdapat masjid yang bisa jadi antara satu akh dengan akh lain jarang bertemu. Sebagai contoh: seorang akh bertempat tinggal di kecamatan Karawaci sedangkan akh lain bertempat tinggal di Ciledug, mereka pada saat sholat lima waktu bahkan sholat Jum’at tidak saling bertemu, belum lagi tempat pekerjaan masing-masing saling berjauhan.. Mereka tidak bertemu terkadang selama sebulan, tiga bulan, enam bulan bahkan setahun. Dan mereka dapat bertemu terkadang di suatu acara tertentu, seperti acara walimah pernikahan atau acara organisasi. dan saat itu mereka melepas kerinduannya, sebagaimanaRasulullah yang memeluk dan mencium/menempel pipi Zaid bin Haritsah yang sudah beberapa lama tidak berjumpa.

Dengan demikian, menurut hemat saya, saling jabat tangan, berpelukan dan bercium/menempel pipi (sekedarnya) saat bertemu dengan saudaranya yang telah lama tidak dijumpainya adalah diperbolehkan meskipun bukan karena baru pulang dari bepergian. Sedangkan kepada saudaranya yang setiap hari bertemu atau sepekan sekali bertemu dengan teman halaqahnya cukup dengan berjabat tangan saja. Meskipun demikian, jika saudaranya habis bepergian jauh (utamanya ke luar kota/pulau atau luar negeri), maka  berpelukan dan mencium itu tetap boleh dilakukan karena menunjukkan kebahgaiaannya melihat saudaranya datang kembali dengan selamat.

Perlu digaris bawahi, bahwa semua keterangan  tentang masalah di atas berupa hukum jabat tangan, berpelukan dan mencium/menempel pipi saudaranya adalah masalah yang bekaitan dengan jabat tangan, berpelukan dan mencium/menempel pipi yang terjadi antara sesama satu jenis; laki-laki dengan laki-laki,dan wanita dengan wanita, atau berlainan jenis tapi masih satu mahram, seperti suami-isteri, adik dan kakak, atau orang tua kandung/mertuanya. Adapun jika jabat tangan, berpelukan dan mencium/menempel pipi itu terjadi antar dua orang yang berlainan jenis dan bukan semahram, maka hal itu diharamkan.

Wallahu a’lam

 

H. Muhammad Jamhuri, Lc