Senin, 10 Desember 2012

Hukum Memilih Diri Sendiri Dalam Pemilihan dan Pemilu

PERTANYAAN:

Assalamu'alaikum
Saya ingin menanyakan bagaimana hukumnya seseorang memilih dirinya sendiri dalam pemilihan raya internal untuk memilih misal ketua DPC, menjadi caleg atau menjadi calon Bupati? Apa ini memang dibolehkan dengan mungkin mengacu pada kisah Nabi Yusuf? Sementara ada juga kisah bagaimana sahabat saling mendahulukan saudaranya untuk meminum air duluan ketika mereka sama-sama sedang terluka parah.

ketika ternyata orang yg memilih dirinya sendiri tersebut ditetapkan kemudian menjadi ketua DPC/DPD, caleg ataupun calon Bupati internal, sikap apa yg paling bijak bagi orang yg tahu prilaku orang yg milih dirinya sendiri tersebut?

Syukron.

wassalamu'alaikum

Ayah Fathimah < tediyuwono@gmail.com>

 

JAWABAN:

Memang benar dalam al-Quran disebutkan, bahwa Nabi Yusuf as menawarkan diri menjabat sebagai bendaharawan Negara, sebagaimana firman Allah SWT:
 

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِين  قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَشَاءُ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

 

Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku." Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami."

Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."

Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.

Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.  (QS: Yusuf: 54-57)

 

Dari ayat ini, dapat kita simpulkan beberapa hal:

  1. Raja telah melakukan percakapan (penjajagan), atau fit and profer test kepada Nabi Yusuf, dan Nabi Yusuf memenuhi persyaratan dan kecakapan. Raja berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami."
  2. Setelah mendapat kepercayaan, Yusuf as memahami diri bahwa keahliannya di bidang kebendaharaan, karena itu dia memohon diberi tanggung jawab tersebut.
  3. Kalimat “Hafizhun ‘Alim” (yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan ) pada ayat di atas dengan menggunakan bentuk sifat musyabbihah  dan bentuk jumlah khobariyah, menunjukkan bahwa sifat itu sudah melekat pada Nabi Yusuf as
  4. Kata “Hafizh” berarti terkandung makna amanah, jujur dan care. Sedang kata “Alim” terkandung makna memiliki pengetahuan lebih, skill dan keahliaan selain sifat taqwa
  5. Nabi Yusuf as –sebagaimana penjelasan Allah- adalah termasuk orang-orang baik
  6. Tujuan mendapat jabatan semata-mata untuk mendapat pahala akhirat, bukan sekedar kesenangan dunia, apalagi sebagai prestise. Ini terlihat dari ayat 57 “Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa”
Dengan demikian, jika seseorang merasa seperti Nabi Yusuf as, yakni memenuhi syarat ketaqwaan, kesalehan, jujur, amanah, care (melindungi), memiliki pengetahuan di bidangnya, skill dan keahliaan, serta hanya berorientasi kepada pahala akhirat (bukan duniawi), dan di tengah-tengah komunitas tersebut hampir tidak ditemukan lagi orang yang lebih baik darinya, maka dia boleh mengajukan diri menerima jabatan demi kemaslahatan umat.

 
Namun jika diri kita tidak memenuhi syarat di atas, atau masih banyak yang setara dengan kita, atau bahkan masih banyak yang lebih baik dari kita, maka kita tidak boleh meminta-minta jabatan. Namun demikian, kita boleh menerima jabatan tatkala komunitas atau masyarakat memilih kita, atau menuntut kita menerima jabatan tersebut.

 
Beberapa hadist Nabi saw yang melarang kita meminta-minta jabatan antara lain sebagai berikut:

 

عن أبي ذر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا أبا ذر, انى أراك ضعيفا, واني احب لنفسي, لا تأمرن على اثنين ولا تولين مال اليتيم (رواه مسلم)

 

Abu Dzar ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hai Abu Dzar, menurutku kamu itu lemah dan aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri. Janganlah kamu menjadi pemimpin terhadap dua orang dan jangan pula menjadi wali (mengelola) bagi harta anak yatim.” (HR: Muslim)

 
وعنه  قال: قلت: يا رسول الله , الا تستعملني؟ فضرب بيده على منكبي, ثم قال:  : يا أبا ذر, انك ضعيف وانها أمانة, وانها يوم القيامة خزي وندامة, الا من أخذها بحقها, وأدى الذي عليه فيها (رواه مسلم)

 
Dari abu Dzar ra berkata: “Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak menjadikan aku sebagai pegawai?” Kemudian beliau menepuk pundakku dan bersabda, “Hai Abu Dzar, sungguh, kamu ini lemah dan jabatan itu amanah. Pada hari Kiamat nanti, jabatan itu menjadi kehinaan serta penyesalan, kecuali bagi orang-orang yang melaksanakannya secara benar dan menunaikan semua kewajibannya” (HR: Muslim)

 

عن أبي سعيد عبد الرحمن بن سمرة رضي الله عنه قال: قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم:  يا عبد الرحمن بن سمرة لا تسأل الامارة, فانك ان أعطيتها عن غير مسألة أعنت عليها, وان أعطيتها عن مسألة وكلت اليها, واذا حلفت على يمين فرأ يت  غيرها خيرا منها  فأ ت  الذي هو خير وكفر عن يمينك (متفق عليها)

 
Dari Abu Said, Abdurrahman bin Samurah ra berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hai Abdurrahman bin Samuroh, janganlah kamu meminta jabatan. Sebab, jika kamu diberi kekuasaan tanpa memintanya, kamu akan ditolong untuk melaksanakannya. Tetapi, jika kamu diberi kekuasaan setelah memintanya, kekuasaan itu diserahkan sepenuhnya kepadamu. Jika kamu bersumpah untuk sesuatu lalu kamu mengetahui yang lebih baik darinya, kerjakan yang lebih baik dan tebuslah sumpahmu” (HR: Bukhori Muslim)

 
Dari hadits-hadits di atas dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Larangan untuk memegang jabatan bagi orang yang mengetahui bahwa dirinya memiliki kelemahan dalam memikul bebannya (hadits no. 1)
  2. Boleh menerima jabatan dengan hak-nya (cara benar الا من أخذها بحقها ) dan melaksanakan tugas dengan benar (hadits no. 2)
  3. Larangan meminta jabatan, tetapi boleh menerimanya tanpa memintanya. Apabila tidak ada orang yang pantas, ia wajib memintanya dan akan mendapat pertolongan (hadits no. 3)

Lalu, terkait dengan pertanyaan:

ketika ternyata orang yg memilih dirinya sendiri tersebut ditetapkan kemudian menjadi ketua DPC/DPD, caleg ataupun calon Bupati internal, sikap apa yg paling bijak bagi orang yg tahu prilaku orang yg milih dirinya sendiri tersebut?

 
Kita harus melihat orang tersebut dengan timbangan ayat dan hadits di atas, jika ia tidak sesuai dengan kriteria tersebut, dan dia baru menjadi calon atau bakal calon, maka sebaiknya dia tidak usah kita pilih dalam pemilihan Internal. Namun jika ia sesuai dengan kriteria di atas (menurut ayat dan hadits) maka kita harus mendukungnya. Karena pilihan kita adalah sama dengan kesaksian.  Firman Allah SWT:

وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

 
“Dan janganlah kamu menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-baqarah: 283)

 

Namun jika sudah menjadi calon tetap Bupati dari internal aktifis dakwah dan dibanding dengan calon Bupati ekternal, maka kita harus mendukung calon tetap internal, karena calon tetap internal insya Allah masih lebih baik secara moral dan akhlak Islami dari pada calon ekternal. Bahkan jika tidak ada calon dari internal pun kita harus mendukung salah satu dari calon ekternal yang lebih baik atau sedikit kemudhorotannya dibanding calon ekternal lainnya, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:

 

اذا تعارضت مفسدتان رعي أعظمهما ضررا بارتكابهما أخفهما

 

“Jika dihadapkan kepada dua hal yang sama-sama rusak, maka lihatlah mana yang lebih besar kerusakannya, lalu pilihlah yang lebih kecil kerusakannya”.

 

Sedangkan jika orang tersebut sudah terlanjur terpilih menjabat sebagai ketua DPC/DPD atau bahkan bupati, maka kita harus mendukungnya dalam hal kebaikan dan mengkritisinya dalam hal kemaksiatan, bahkan tidak boleh taat dalam hal kemaksiatan kepada Allah.

 

Wallahu a’lam

 

Muhammad Jamhuri

 

 

 

1 komentar:

  1. syukron ust, saya jadi lebih paham, ijin share ustadz.

    by: www.dakwahsyariah.com

    BalasHapus