Selasa, 05 Juni 2012

Hukum Tawassul

Assalamualaikum, wr. wb

Saya ingin menanyakan hukum tawasul kepada orang shalih yang masih hidup atau yang sudah meninggal.

Wassalamualaikum, wr. Wb




JAWABAN:

Walaikumussalam, wr, wb,

Tawassul secara bahasa bemakna taqarrub (mendekatkan diri). Seperti ucapan; “Saya bertawassul kepada Allah dengan amal”.Berarti “Saya mendekatkan diri pada Allah dengan amal”. Seperti ucapan: “Dia bertawassul kepada si fulan dengan sesuatu”. Maknanya adalah “saya mendekatkan diri kepada si Fulan dengan sesuatu yang melembutkannya”.

Secara definisi tawassul bisa bermakna mendekatkan diri pada Allah dengan melakukan segala ketaatan atau meninggalkan segala larangan. Bisa pula tawassul itu adalah mendekatkan diri pada Allah dengan meminta didoakan oleh orang lain. Bisa pula tawassul itu adalah doa yang dapat mendekatkan diri pada Allah dengan menyebut asma (nama)Nya dan sifatnya, atau dengan makhluknya seperti nabi, orang sholeh dan lainnya sebagaimana yang menjadi perdebatan ulama tentang hal itu.

Ada beberapa bentuk tawassul:

  1. Tawassul dengan asma (nama-nama) dan sifat Allah SWT. Para ulama sepakat bahwa tawassul jenis ini diperbolehkan bahkan dianjurkan.

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna (nama-nama baik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180)     

Seperti lafadz doa dalam hadits Nabi saw:

حديث أنس بن مالك قال : كان النّبيّ صلى الله عليه وسلم إذا كربه أمر قال : يا حيّ يا قيّوم برحمتك أستغيث.

Hadits Anas bin Malik berkata, “Adalah Nabi saw jika mendapat kesulitan beliau berdoa, “Wahai Tuhan yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri !, dengan kasih sayangMu aku memohon pertolongan.”

  1. Tawassul dengan amal sholeh. Para ulama pun sepakat bahwa tawassul jenis ini adalah diperbolehkan. Dalilnya antara lain:

عن عبد اللّه بن عمر بن الخطّاب رضي الله عنهما قال : سمعت رسول اللّه صلى الله عليه وسلم يقول : « انطلق ثلاثة نفر ممّن كان قبلكم حتّى آواهم المبيت إلى غار فدخلوه ، فانحدرت صخرة من الجبل فسدّت عليهم الغار ، فقالوا : إنّه لا ينجّيكم من هذه الصّخرة إلا أن تدعوا اللّه بصالح أعمالكم. قال رجل منهم : اللّهمّ كان لي أبوان شيخان كبيران وكنت لا أغبق قبلهما أهلا ولا مالافنأى بي طلب الشّجر يوما فلم أرح عليهما حتّى ناما ، فحلبت لهما غبوقهما ، فوجدتهما نائمين ، فكرهت أن أوقظهما ، وأن أغبق قبلهما أهلا أو مالا ، فلبثت - والقدح على يديّ - أنتظر استيقاظهما حتّى برق الفجر والصّبية يتضاغون عند قدمي ، فاستيقظا فشربا غبوقهما. اللّهمّ إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك ففرّج عنّا ما نحن فيه من هذه الصّخرة ، فانفرجت شيئا لا يستطيعون الخروج منه قال الآخر : اللّهمّ إنّه كانت لي ابنة عمّ كانت أحبّ النّاس إليّ » ، وفي رواية : « كنت أحبّها كأشدّ ما يحبّ الرّجال النّساء فأردتها على نفسها فامتنعت منّي حتّى ألمّت بها سنة من السّنين ، فجاءتني ، فأعطيتها عشرين ومائة دينار على أن تخلّي بيني وبين نفسها ففعلت ، حتّى إذا قدرت عليها » ، وفي رواية : « فلمّا قعدت بين رجليها قالت : اتّق اللّه ولا تفضّ الخاتم إلّا بحقّه ، فانصرفت عنها وهي أحبّ النّاس إليّ ، وتركت الذّهب الّذي أعطيتها اللّهمّ إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنّا ما نحن فيه ، فانفرجت الصّخرة غير أنّهم لا يستطيعون الخروج منها. وقال الثّالث : اللّهمّ استأجرت أجراء وأعطيتهم أجرهم غير رجل واحد ترك الّذي له وذهب ، فثمّرت أجره حتّى كثرت منه الأموال ، فجاءني بعد حين ، فقال : يا عبد اللّه أدّ إليّ أجري ، فقلت : كلّ ما ترى من أجرك من الإبل والبقر والغنم والرّقيق. فقال : يا عبد اللّه لا تستهزئ بي ، فقلت : لا أستهزئ بك ، فأخذه كلّه فاستاقه فلم يترك منه شيئا. اللّهمّ إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنّا ما نحن فيه. فانفرجت الصّخرة فخرجوا يمشون



Dari Abu Abdurrohman bin Abdullah bin Umar ra berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Telah pergi tiga orang dari umat sebelum kalian, hingga mereka datang waktu bermalam di sebuah gua. Lalu mereka memasukinya. Tiba-tiba batu besar dari gunung jatuh dan menutupi mereka dalam gua. Lalu mereka berkata: “Sungguh tidak ada yang dapat menyelamatkan kalian kecuali kalian berdo’a kepada Allah dengan amal soleh kalian”. Seseorang dari mereka berkata, “Ya Allah, aku memiliki dua orang tua yang sudah tua renta. Dan aku tidak pernah menyiapkan minuman malam untuk keluarga dan pembantu sebelum mereka, suatu hari Aku telah jauh mencari kayu pohon sehingga aku tidak kembali kepada mereka hingga mereka telah tidur. Lalu aku memeras susu minuman malamnya namun aku lihat mereka masih tertidur, lalu aku tidak ingin membangunkan mereka dan dan tidak ingin menyiapkan minuman malam untuk keluarga dan pembantu sebelum untuk mereka. Kemudian aku tetap berdiri –sedang bejana ada di kedua tanganku- menunggu mereka bangun hingga datang fajar terang, padahal bayi perempuanku merengek lapar di bawah kakiku. Lalu mereka bangun dan meminum minuman malamnya. Ya Allah, jika aku lakukan hal itu karena mengharap ridho-Mu maka bukakanlah batu yang sedang kami hadapi ini”. Kemudian batu itu terbuka sedikit namun mereka belum dapat keluar.

Kemudian lelaki lain berkata, “Ya Allah, aku memiliki gadis sepupu; dia seorang manusia yang sangat aku cintai” –dalam sebuah riwayat- “Aku mencintainya seperti laki-laki yang sangat mencintai wanita, lalu saya menginginkan dirinya tapi dia menolak. Hingga dia mengalami kesulitan selama setahun. Lalu dia mendatangiku (meminta pertolongan)  dan aku memberinya seratus duapuluh dirham dengan syarat ia merelakan antara dirinya dan diriku, dan ia pun mau. Sehingga aku mampu melakukan (apa saja) padanya” –dalam riwayat lain- “pada saat aku duduk di antara dua kakinya, dia berkata, “Takutlah kepada Allah dan jangan masukkan cincin kecuali dengan haknya”.(maksudnya jangan berzina) Aku lalu pergi meninggalkannya padahal dia adalah manusia yang sangat aku cintai, dan aku tinggalkan emas yang telah aku berikan itu. Ya Allah, jika aku melakukan hal itu karena mengharap ridho-Mu maka bukalah batu yang ada pada kami”. Maka batu itu terbuka namun mereka belum dapat keluar darinya.

Kemudian orang ketiga berkata, “Ya Allah, aku pernah menyewa para pekerja, dan mereka telah aku bayar upahnya kecuali seorang yang pergi meninggalkan upahnya, lalu aku kembangkan upahnya itu hingga hartanya menjadi banyak. Lalu orang itu datang kepadaku setelah sekian lama, dan berkata, “Wahai hamba Allah, bayarlah kepadaku upahku!” Lalu aku menjawab, “Seluruh apa yang engkau lihat adalah dari upahmu berupa unta, sapi, kambing dan budak” Dia berkata, “Wahai hamba Allah,janganlah engkau menghinaku!” Aku menjawab, “Aku tidak sedang menghinamu.” Lalu dia mengambill harta itu seluruhnya dan membawanya serta tidak meninggalkan satupun. Ya Allah, sekiranya aku lakukan hal itu karena mengharap ridho-Mu maka bukakanlah batu yang ada pada kami. Lalu batu itu terbuka, dan mereka keluar dan melanjutkan perjalanan (Hadits No. 12 Kitab RiyadusSholihin)

  1. Tawassul dengan Nabi saw. Para ulama telah sepakat akan kebolehan tawassul dengan Nabi saw dalam tiga hal:
    1. Tawassul dengan Nabi saw dan orang sholeh dengan cara minta dido’akan oleh mereka saat mereka masih hidup, dan memohon syafaat kepada Nabi saw saat di akhirat.

Dalilnya:


وَلو أَنَّهُمْ إذْ ظَلَمُوا أَنْفسَهم جَاءوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهم الرَّسُولَ لَوجَدُوا اللَّهَ تَوَّابَاً رَحِيمَاً

Sesungguhnya jikalau mereka menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa: 64)


عن عثمان بن حنيف أنّ رجلاً ضرير البصر أتى النّبيّ صلى الله عليه وسلم فقال : ادع اللّه أن يعافيني. قال : إن شئت دعوت وإن شئت صبرت فهو خير لك ، قال : فادعه. قال  : فأمره أن يتوضّأ فيحسن وضوءه ويدعو بهذا الدّعاء : اللّهمّ إنّي أسألك وأتوجّه إليك بنبيّك محمّد نبيّ الرّحمة. يا محمّد إنّي توجّهت بك إلى ربّي في حاجتي هذه لتقضى. إلى قوله : اللّهمّ فشفّعه في فقام وقد أبصر .وزاد حمّاد بن سلمة :وإن كانت لك حاجة فافعل مثل ذلك

Dari Utsman bin Hunaif, bahwa seorang buta datang kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Berdo’alah kepada Allah agar Allah menyembuhkanku.” Nabi berkata: “Jika engkau mau, berdoalah, jika engkau mau bersabarlah dan itu lebih baik.” Orang itu berkata, “Berdoalah pada Allah!” Dia berkata, maka kemudian Nabi memerintahkannya agar berwudhu, lalu dia membaguskan wudhunya dan berdoa dengan doa ini; “Ya Allah, aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan NabiMu Muhammad nabi pembawa rahmat, Wahai Muhammad, aku telah menghadap denganmu kepada Tuhanmu tentang keperluanku ini agar terkabulkan, hingga ucapannya; Ya Allah berilah syafaat padanya kepadaku, lalu ia dapat melihat (sembuh dari buta). Hammad bin Salamah menambahkan: Jika engkau mempunyai keperluan maka lakukanlah seperti itu.”


وفي حديث أنس بن مالك رضي الله عنه قال : قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم : « إذا كان يوم القيامة ماج النّاس بعضهم إلى بعض فيأتون آدم فيقولون له : اشفع لذرّيّتك فيقول : لست لها.فيؤتى عيسى فيقول : لست لها ولكن عليكم بمحمّد صلى الله عليه وسلم فأوتي ، فيقول : أنا لها ، فأنطلق ، فأستأذن على ربّي ، فيؤذن لي ، فأقوم بين يديه ، فأحمده بمحامد لا أقدر عليه الآن يلهمنيه اللّه ثمّ أخرّ له ساجدا ، فيقال لي : يا محمّد ارفع رأسك وقل يسمع لك وسل تعطه واشفع تشفّع ، فأقول : يا ربّ أمّتي أمّتيالحديث.



Dalam hadits Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jika hari Kiamat tiba, manusia datang bergelombang sebagian mereka kepada sebagian lain, mereka mendatangi nabi Adam dan berkata kepadanya: “Mintalah syafaat untuk anak keturunanmu!”. Adam as menjawab: “Aku tidak berhak”. Lalu mendatangi Isa as, beliau menjawab: “Aku tidak berhak, tapi hendaklah kalian mendatangi Muhammad saw, lalu beliau didatanginya, dan berkata; “Aku berhak untuk itu. Lalu aku pergi dan memohon idzin kepada Tuhanku, lalu aku diberi idzin. Kemudian aku berdiri di hadapanNya dan memujiNya dengan segala pujian yang sekarang aku tidak mampu melakukannya, Allah telah mengilhamiku tentang itu. Lalu aku akhiri dengan bersujud. Lalu ada suara berkata padaku, “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berkatalah maka ia mendengarmu, memohonlah maka Dia akan memberi, mintalah syafaat maka engkau akan diberi syafaat”. Lalu aku berkata, “Wahai Tuhanku, umatku, ummatku..?!”

    1. Tawassul dengan Nabi saw atas pengertian atau makna iman Nabi saw dan mencintainya. Para ulama sepakat bahwa diperbolehkannya  bertwassul dengan Nabi saw dalam pengertian mengimaninya dan mencintainya. Seperti kalimat doa:

 إنّي أسألك بإيماني به وبمحبّته ، وأتوسّل إليك بإيماني به ومحبّته ، ونحو ذلك.



“Sesungguhnya aku memohon padaMu (ya Allah) dengan iman kami padanya (Nabi saw) dan cinta padanya, aku bertawassul kepadamu dengan imanku padanya dan cinta padanya” dan lafadz sejenisnya


Ibnu Taimiyah berkata: “Siapa yang menghendaki makna seperti ini maka dia benar tentang hal itu dan tidak ada perdebatan padanya. Jika dibawa pada makna seperti ini, pembahasan tentang orang yang bertawassul dengan Nabi saw setelah wafat beliau, dari kalangan salaf –sebagaimana yang diriwayatkan dari para sahabat dan Tabi’in dan Imam Ahmad serta lainnya- maka hal ini adalah hasan (baik)

Al-Alusi berkata: Aku memandang tidak mengapa tentang tawassul kepada Allah dengan jah al-Nabi (kedudukan Nabi saw) di sisi Allah baik saat beliau hidup maupun mati. Dan yang dimaksud dengan jah (kedudukan) adalah sifat Allah, seperti yang dimaksud kedudukan itu adalah kecintaan Allah yang sempurna yang mengantarkan tidak ditolaknya doa dan diterimanya syafaat Nabi. Sehingga makna orang yang berdoa itu adalah, “Ya Tuhanku, aku bertawassul dengan jah (kedudukan) Nabi saw agar engkau mengabulkan keperluanku padaku. Ya Allah jadikanlah cintaMu padanya (Nabi saw) sebagai wasilah (perantara) dalam memenuhi keperluanku.” Hal ini tidak berbeda dengan ucapan doa: “Ya Tuhanku, aku bertawassul dengan rahmatMu (kasih sayangMu) agar Engkau…..dst” Karena maknanya sama yakni: “Ya Tuhanku, jadikanlah rahmatMu sebagai wasilah (perantara) untuk memenuhi keparluanku…”

    1. Tawassul dengan Nabi saw setelah wafat beliau. Para ulama berbeda pendapat tentang disyari’atkannya bertawassul dengan Nabi saw setelah wafat beliau. Seperti ucapan orang yang berdoa:



اللّهمّ إنّي أسألك بنبيّك أو بجاه نبيّك أو بحقّ نبيّك



“Ya Allah, aku memohon padaMu dengan NabiMu, atau dengan jah (kedudukan) NabiMu, atau dengan kebenaran NabiMu..”



Pendapat Pertama:

Mayoritas ulama dari kalangan mazdhab Maliki, Syafii dan Mutaakhkhirin (ulama kontemporer) Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa tawassul seperti itu di perbolehkan baik saat Nabi saw hidup maupun setelah wafatnya beliau.

Al-Qostholani berkata: Telah diriwayatkan bahwa Imam Malik saat ditanya oleh Abu Ja’far al-Manshur al-Abbasi –khalifah kedua Bani Abbas- “Wahai Abu Abdullah, bolehkan aku menghadap Nabi saw dan berdoa, atau aku menghadap kiblat dan berdoa’?. Imam Malik menjawab, “Mengapa engkau palingkan wajahmu dari beliau padahal beliau adalah wasilah (perantara) engkau dan wasilah kakek moyangmu Adam as kepada Allah pada hari kiamat? Bahkan menghadaplah padanya, mintalah syafaat dengannya maka Allah akan memberi syafaat padanya”

Kisah ini juga diriwayatkan oleh Abu al-Hasan Ali bin Fihr dalam kitabnya “Fadhoil Malik” dengan sanad yang la ba’sa bih (dapat ditoleransi). Juga telah ditakhrij oleh Qodhi Iyadh dalam “al-Syifa” dari jalurnya dari guru-gurunya yang dapat dipercaya.

Imam Nawawi berkata saat menjelaskan Adab Ziarah Kubur Nabi saw, “Kemudian hendaklah penziarah ke tempat yang berhadapan dengan Nabi saw lalu bertawassul dengannya dan memohon syafaat pada Allah dengannya. Di antara doa baik yang diucapkan seorang penziarah adalah apa yang diceritakan oleh Imam al-Mawardi dan Qodhi Abu al-Thoyib dan sahabat-sahabat kami dari al-Utba, dia berkata, “Saat aku duduk di samping kuburan Nabi saw datang seorang badui dan berkata “Assalamu’alaika Ya Rasulullah, aku telah mendengar Allah berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.(An-Nisa: 64), Sekarang aku telah datang padamu memohon ampun dosaku dan memohon syafaat denganmu pada Allah.

Pendapat Kedua:

Tidak diperbolehkan bertwassul dengan Nabi saw setelah wafat beliau.

Abu Yusuf meriwayatkan dari Abu hanifah, “Tidak layak bagi seseorang untuk memohon Allah kecuali dengan asma dan sifat Allah SWT, sesuai dengan firman Allah SWT “Bagi Allah asmaul husna, maka berdoalah padaNya dengan itu”

Dalam kitab al-Durr disebutkan; yang paling hati-hati adalah pendapat yang melarangnya karena hal itu (bertawassul dengan Nabi) adalah khobar wahid (hadits ahad) yang bertentangan dengan nash qoth’i.

Ibnu Abidin berkata; Tidak ada hak bagi mereka atas Allah, tapi Allah-lah yang berhak atas mereka dalam memberi karuniaNya

Pendapat Ketiga:

Taqiyuddin bin Taimiyah (Ibnu Taimiyah) dan sebagian ulama mazhab Hambali dari kalangan mutaakhirin (ulama kontemporer) berpendapat bahwa bertawassul dengan dzat (fisik/diri) Nabi saw adalah tidak boleh. Adapun bertawassul dengan selain dzat Nabi saw, maka Ibnu Taimiyah telah berkata bahwa lafadz tawassul dimaknai kepada tiga hal: Dua hal telah disepakati ulama keabsahananya:

Makna Pertama: dasar iman dan Islam, yakni tawassul dengan iman pada Nabi saw dan ketaatan padanya.

Makna Kedua: Doa dan syafaat Nabi saw –yakni saat beliau hidup- ini juga berguna yang dipakai betawassul oleh orang yang berdoa untuknya, dengan kesepakatan kaum muslimin.

Siapa yang mengingkari tawassul dengan dua makna diatas maka dia kafir dan harus dimintai bertaubat, dan jika tidak bertaubat, boleh dibunuh dalam keadaan murtad. Akan tetapi bertawassul dengan keimanan dan ketaatan pada Nabi saw adalah dasar agama, dan ini telah diketahui dengan pasti bagian dari agama Islam baik oleh orang khusus (ulama) maupun orang umum (awam). Oleh karena itu, siapa yang mengingkari makna ini  maka kekafirannya telah nyata bagi orang khusus dan umum. Adapun doa beliau dan syafaat beliau dan pemanfaatan kaum muslimin akan hal itu, maka barangsiapa mengingkarinya maka ia pun telah kafir. Akan tetapi yang ini lebih samar dari yang pertama. Oleh karena itu barangsiapa mengingkarinya karena kebodohan maka dimaafkan, dan jika ia terus mengingkarinya maka ia telah murtad. Sedangkan doa dan syafaat beliau saat di dunia maka tidak ada satupun dari ahli qiblat (umat Islam) yang mengingkarinya. Sedangkan syafaatnya di hari kiamat maka mazdhab Ahlussunnah wal Jamaah yakni para sahabat, tabiin dan para imam kaum muslimin yang empat (imam empat madzhab) dan lainnya berpendapat bahwa beliau memiliki syafaat khusus dan umum.

Adapaun tawassul dengan Nabi saw dan berhadap dengannya yang terdapat pada ucapan para sahabat adalah bahwa maksud mereka dengan tawassul itu adalah doa dan syafaat beliau. Sedangkan tawassul yang dikehendaki kebiasaan orang-orang sekarang adalah bersumpah dengan Nabi  dan meminta padanya, sebagaimana mereka bersumpah kepada lainnya seperti para nabi dan orang-orang sholeh dan orang yang dianggap baik.

Jika demikian maka lafadz tawassul memiliki dua arti yang dibenarkan oleh kesepakatan kaum muslimin, dan satu arti bentuk yang ketiga yang tidak ada sunnahnya. Dan di antara arti yang dibenarkan adalah doa Umar bin Khattab:

اللّهمّ إنّا كنّا إذا أجدبنا توسّلنا إليك بنبيّنا فتسقينا وإنّا نتوسّل إليك بعمّ نبيّنا فاسقنا ' أي :) بدعائه وشفاعته(.

“Ya Allah, Kami jika mengalami paceklik (kekeringan), kami bertwassul kepadaMu dengan Nabi kami sehingga Engkau memberi hujan pada kami. Dan sesungguhnya kami bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” (maksudnya dengan doa dan syafaatnya paman Nabi)

Dan firman Allah SWT:

وَابْتَغُوا إليه الوَسِيلَةَ

“Carilah padanya wasilah” maksud wasilah adalah; mendekatkan diri pada Allah dengan mentaatinya (nabi) karena mentaati rasulNya berarti mentaati Allah SWT. Sebagaimana firman Allah:

مَنْ يُطع الرَّسُولَ فَقَدْ أطَاعَ اللَّهَ

“Barangsiapa mentaati Rasul maka dia telah mentaati Allah.”

Adapun tawassul dengan doa dan syafaat beliau –sebagaimana yang diucapkan Umar- maka itu adalah tawassul dengan doa beliau, bukan dengan dzat beliau. Oleh karena itu mereka (sahabat) mengalihkan tawassul dengan Nabi –yakni setelah wafat beliau- kepada tawassul dengan pamannya al-Abbas. Andaikata tawassul dengan dzatnya diperbolehkan maka ia lebih utama daripada tawassul dengan al-Ababs. Oleh karena itu, pada saat mereka mengalihkan tawassul dengan Nabi saw kepada tawassul dengan al-Abbas maka dapat disimpulkan bahwa apa yang boleh dilakukan pada saat hidupnya Nabi saw tidak bisa dilakukan pada saat beliau (nabi) telah wafat. Berbeda dengan tawassul berupa mengimani dan mentaati beliau, maka hal ini adalah masyru’ (disyariatkan) selamanya.

Makna Ketiga: Tawassul dengan makna bersumpah dengan nabi atau memohon dengan dzatnya. Maka hal ini tidak pernah dilakukan oleh sahabat saat istisqo maupun liannya, baik saat hidup maupun setelah wafatnya, baik di samping kuburnya atau di selain kuburnya. Tidak pula dikenal doa masyhur dari mereka, kecuali yang dinukil pada hadist-hadist dhoif yang marfu dan mauquf, atau dari orang yang tidak punya dalil.

Kemudian Ibnu Taimiyah berkata: bersumpah dengan makhluk-makhluk adalah haram menurut pendapat ulama jumhur (mayoritas) yaiu madzhab Abu Hanifah dan salah satu pendapat masdzhab Syafii dan Ahmad, dan dhikayatkan ijma’ sahabat atas pendapat haram itu. Ada pendapat bahwa hal itu makruh tanzih. Dengan demikian bersumpah dengan Nabi saw kepada Allah –dan memohon dengannya bermakna sumpah- adalah bagian dari jenis ini. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tawassul dengan lafadz  ' أسألك بنبيّك محمّد  “Aku memohon padaMu dengan nabiMu Muhammad” adalah boleh jika ada taqdir mudhof (ada lafadz lain yang disandarkan). Beliau berkata; jika ditanya;jika tawassul dengan iman  pada Nabi, kecintaan padanya dan ketaatan padanya, maka ada dua kemungkinan; terkadang dengan hal ia bertawassul untuk mendapat pahala Allah dan surganya- dan ini merupakan wasilah yang paling agung-, terkadang dengan itu bertawassul dalam doa –seperti kalian sebutkan contoh-contohnya- maka bisa jadi ucapan yang berdoa; “Aku memohon padaMu dengan NabiMu Muhammad” maksudnya adalah: “Aku memohon padaMu dengan keimananku padanya dan cintaku padanya”, atau “aku bertawassul kepadaMu dengan keimannku padanya dan cintaku padanya” dan semisalnya. Dan kalian telah menyebutkan bahwa hal ini adalah boleh tanpa perselisihan. Dikatakan: Siapa yang menghendaki makna ini maka dia benar tanpa ada perselisihan. Dan jika makna ini merupakan pendapat tawassul dengan Nabi saw setelah wafatnya berasal dari ulama salaf seperti yang telah dinukil dari sahabat, tabiin, Imam Ahmad dan lainnya maka ini adalah baik. Jika demikian maka hal itu tidak ada perselisihan dalam masalah. Akan tetapi banyak kalangan awam yang memutlakan lafadz ini dan tidak memaksudkan makna tersebut. Hal inilah yang ditentang oleh ulama yang menentangnya. Padahal para sahabat menghendaki tawassul itu dengan makna doa dan syafaatnya. Dan ini diperbolehkan tanpa perselisihan


  1. Tawassul dengan orang-orang sholih selain Nabi.

Hukum tawassul dengan orang-orang sholeh selain Nabi saw tidak berbeda dengan dengan perselisihan pendapat yang disebutkan pada pembahasan tawassul dengan Nabi saw.
 
(Sumber: al-Maktabah al-Syamilah: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 1/4987)


Wallahu a’lam bish-showab
Muhammad Jamhuri






1 komentar:

  1. syukron ust, saya jadi lebih paham, ijin share ustadz.

    by: www.dakwahsyariah.com

    BalasHapus